http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0407/30/utama/1178898.htm
TEKNOLOGI tidak harus lahir dari hasil riset ataupun laboratorium, tetapi bisa muncul dari pengalaman hidup sehari-hari. Sebutlah temuan sederhana, yang berawal dari rasa penasaran dan modal dengkul. "Sang penemu" pun tidak terakses oleh dunia luar sehingga penemuannya tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang mengangkatnya ke permukaan. Padahal, temuan itu ada di sana-sini.
Menurut Dr Ir Sudirman MSc, dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang juga Ketua Tim Kaji Kreativitas Teknologi Terapan NTB tahun 2003, dari pemantauan terlihat begitu banyak hasil penelitian tersimpan. Tahun 2003, misalnya, tercatat 64 hasil penelitian yang terhimpun. Dari situ, 19 penemu meraih penghargaan. Mereka dikategorikan penemu, perintis, dan pengembang serta diberi penghargaan berupa uang masing-masing Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Tahun ini lomba semacam itu tetap dilaksanakan, tetapi seleksinya lebih ketat dengan tekanan pada mutu penelitian dan peraihnya tiga-empat orang. "Naskah temuan dan hasil penelitian diharapkan masuk pada November mendatang," kata Yusron Hadi, Kepala Subbidang Perizinan dan Penyusunan Hak Paten Kantor Bappeda NTB.
Temuan-temuan itu dari berbagai disiplin ilmu, seperti fisika, biologi, dan rekayasa teknologi, misalnya produk telur cacing nyale untuk bahan uji biossay mutu air laut, produk ekstrak asam jawa sebagai obat kembung pada ternak ruminansia. Ada juga produk dodol berbahan baku buah terung, peralatan rumah tangga semacam piring, mangkok berbahan baku batu apung yang produknya mirip produk berbahan melamin. Selain itu, alat pengering cabai yang menggunakan lampu petromaks, alat peraga praktis mata pelajaran fisika bagi siswa sekolah lanjutan tingkat pertama, bahkan tanaman jarak varietas lokal beaq amor.
Produk teknologi tepat guna itu sudah ada yang go national, seperti emiter, alat irigasi tetes, untuk mendistribusikan kebutuhan air maksimal bagi tanaman keras (buah-buahan) yang bahan bakunya bintonit (lumpur). Teknologi tersebut merupakan hasil penemuan Hamzah, karyawan Kantor Bappeda NTB, semula petugas penyuluh lapangan Dinas Pertanian Kabupaten Bima.
Alat yang digunakan untuk tumbuh kembang tanaman di lahan kering itu sudah dimanfaatkan di Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Alor dan Sumba Timur), selain Pulau Lombok dan beberapa daerah di Nusantara ini. Harga jualnya relatif murah, kurang dari Rp 5.000 per emiter.
Lain lagi dengan H Saefuddin, warga Kompleks Perumahan Perumnas Tanjung Karang, Mataram. Dia membuat alat praktis sistem pembangkit listrik tenaga aki yang bisa mengubah arus AC menjadi DC atau sebaliknya. Jika listrik padam, arus listrik (AC) berlebih dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) disimpan di dalam aki yang kekuatan penyimpanannya sekitar tujuh jam, cukup sebagai alat penerangan selama pemadaman berjalan. Manakala aliran listrik menyala, arus daya listrik pada aki secara otomatis berbalik ke arus AC.
Sebanyak 50 karya Saefuddin kini dipakai warga Pulau Nasi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di sana alat charge-nya adalah genset yang diubah tegangannya menjadi 120 volt, dari 220 volt. Untuk itu, Saefuddin melakukan kontrak kerja dengan Menteri Riset dan Teknologi serta Menteri Sosial pada tahun 2002.
TEMUAN-temuan itu adalah karya lulusan universitas dan akademi, pengusaha dan pekerja yang senang menggeluti bidang penelitian, atau mereka yang karena dituntut oleh desakan hidup berupaya mencari solusi yang kemudian memberi sumber nafkah bagi mereka. Bisa dibilang karya mereka spesifik dan unik.
Hasan Muchtar (60), warga Kelurahan Penanae, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, membuat 11 sumur di atas bukit So Ndana Laju. Sepuluh sumur berkedalaman tiga sampai lima meter. Semua digali sendiri, berderet, dan mengikuti kemiringan lahan. Sementara satu sumur lainnya dibuat sedalam 20 meter.
Perbedaan kedalaman sumur, menurut logika Hasan, akan membuat air hujan yang ditampung diserap ke sumur yang lebih dalam. Air sumur pertama dan ke-10 untuk mengairi tanaman di ladang dan kebun, sedangkan sumur ke-11 (paling hilir) untuk kebutuhan air minum bagi warga selama tujuh bulan (musim kemarau). Agar air tertahan, bagian dasar dan dinding sumur dilengkapi ijuk, serabut kelapa, dan kerikil.
Di wilayah itu, karena ketebalan tanah sekitar dua sentimeter (cm), Hasan harus memahat batu cadas, melubanginya, dan memasukkan tanah ke lubang tersebut agar tanaman bisa tumbuh. Tumbuhan yang ditanamnya antara lain mangga dan pisang, dengan jarak per pohon sekitar 50 cm. Tanaman pisang dipilihnya karena punya kandungan air sekitar 50 persen dan sifat tanaman ini di musim kemarau mengeluarkan air yang berguna untuk mengairi mangga.
Kerja keras Hasan berlangsung selama tiga tahun, 1987- 1990. Hasilnya, lahan marjinal jadi produktif, 60 keluarga sekitarnya tidak lagi memburu air sejauh tiga kilometer dari lahan garapan, tetapi cukup mengambil dari sumur tadi.
Lain halnya dengan Zainuddin Ahmad (40), warga Dusun Lesu, Desa Raba, Kecamatan Wawo, Bima. Dia menemukan teknologi budidaya pohon jati dengan tunas akar. Teknologi itu dipraktikkan tahun 1999, dengan cara memotong tunas- tunas yang tumbuh pada batang bawah pohon jati eks tebangan.
Sekitar 25 hari kemudian tumbuh tunas baru yang kemudian diberi pupuk kompos. Hanya tunas terbaik yang dibiarkan tumbuh, sisanya dipotong atau dibuang. Teknik ini, sesuai dengan telaah Dinas Kehutanan Bima, membuat riam tanaman lebih cepat dibandingkan dengan sistem budidaya (menggunakan biji dan persemaian). Mutu kayunya pun sama dengan tanaman induk dan lingkar batang jati usia tiga-empat tahun seukuran genggaman dua tangan orang dewasa.
Menurut Dr Sudirman, secara teoretis tunas yang tetap tumbuh pada tanaman induk mendapat suplai makanan dan unsur hara dari tanaman induk. Hal itu karena tunas menyatu dengan tanaman induk. Mengambil tunas terbaik dan membuang yang kurang baik (teknik penjarangan) memudahkan tunas berfotosintesis, mendapat energi cahaya dari Matahari, memperoleh karbohidrat dan unsur lain yang merupakan perangsang pertumbuhan tunas secara vegetatif maupun generatif.
TEMUAN mereka boleh dikatakan "membumi". Sebutlah temuan Lalu Selamat Marta Dinata alias Memet (24) berupa alat pemanggil ikan (API). Alat untuk memancing ikan ini didesain sedemikian rupa, bisa mengeluarkan suara dan cahaya, yang membuat ikan mendekat. API dirakit dari komponen elektronik: transistor frekuensi rendah, transformer, piezo (penghasil/pengatur suara), kapasitor elektrolit dengan kertas filter resistor kapasitor, dan lampu lea super yang memproduksi suara. Perangkat itu dilengkapi baterai yang dimasukkan ke tabung plastik kaca kedap air, mirip wadah menyimpan bumbu merica.
API yang digantung pada jaring angkat lalu dicelupkan ke air laut sedalam 10 meter itu menghasilkan lengkingan suara berfrekuensi 10-15 kHz, daya bias lampu sejauh 20-50 meter di malam hari. Hasil uji coba menyebutkan, lobster, ikan layau, ikan kapas, kepiting, dan ikan kecil mendekat dan memburu suara dan sinar yang bersumber dari API.
Memet yang lulusan sekolah teknik menengah tahun 1999 membuat API mengacu pada binatang lain (anjing dan kelelawar) yang memakai frekuensi ultrasonik (di bawah 30 kHz).
"Anjing pelacak bisa dipanggil dengan frekuensi ultrasonik, mestinya ikan bisa dipanggil dengan cara yang sama," ujar Memet yang menaksir alat temuan itu bisa dijual Rp 200.000-Rp 250.000 per unit jika diproduksi massal.
Rasa penasaran-bahkan kesal bercampur peristiwa traumatis-mengilhami proses "pencarian" Sur’ain, warga Jalan Gotong Royong, Ampenan, Kota Mataram. Ketika sebagai tukang kayu pada tahun 1993, dia pernah jatuh dari tangga setinggi lima meter saat memasang lisplang penahan genteng sebuah rumah baru. Meski hanya luka, katanya, "Saya stres empat bulan lamanya, malah mau dirawat inap di rumah sakit jiwa." Ia kemudian menciptakan alat bantu pemasangan lisplang lebih praktis yang terbuat dari besi. Alat itu dia beri nama regm pas (bahasa Sasak regm berarti cengkeram).
Di lain waktu, ibunya sering memarahi ayahnya yang tidak becus memasang sumbu kompor minyak tanah. Dari sini Sur’ain mampu mencipta alat penarik sumbu kompor yang disebutnya jarum rorot (rorot berarti tarik). Mekanisme kerjanya, sumbu kompor yang dikaitkan dengan jarum (terbuat dari kawat baja) dimasukkan ke salah satu ujung selongsong sumbu. Jarum ditarik dan sumbu kompor keluar melalui ujung selongsong lainnya.
Jarum rorot tersebut laku keras, dijual di pasaran (kota-desa) seharga Rp 1.500-Rp 3.000 per buah.
Kiprah mereka semua itu sekaligus membuka mata berbagai kalangan bahwa aktivitas penelitian secara swadaya berjalan secara berkesinambungan, yang hasilnya tidak kalah dengan yang dibuat para peneliti dari kalangan perguruan tinggi. (KHAERUL ANWAR)