September 17, 2004

SWOT - Metode perencanaan strategis SI

Syukron untuk kang Issotiyo. Ini saya paste disini...

SWOT adalah akronim dari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunities(peluang), dan Threats (Ancaman). Analisis SWOT memberikan identifikasi kekuatan, kelemahan lingkungan internal dan peluang, ancaman dari lingkungan eksternal organisasi. Sehingga strategi yang diambil harus memaksimalkan kekuatan dan peluang, meminimalkan kelemahan dan ancaman perusahaan.

Fokus pertama SWOT adalah identifikasi peluang dan ancaman lingkungan eksternal organisasi[Goodstein et al, 1993], yaitu:
- Peluang / Opportunities, situasi yang menguntungkan bagi perusahaan. Identifikasi segmen pasar yang sebelumnya terlewatkan, perubahan dalam situasi kompetisi, atau regulasi, teknologi dan hubunganpembeli dan pemasok yang diperbaiki dapat menunjukkan peluang bagi organisasi.
- Ancaman / Threats, adalah rintangan bagi posisi sekarang atau yang akan dicapai oleh perusahaan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, daya tawar pembeli dan pemasok yang meningkat, perubahan teknologi, dan peraturan baru atau yang direvisi dapat merupakan ancaman bagi keberhasilan suatu perusahaan.

Fokus kedua adalah identifikasi kekuatan dan kelemahan internal, yaitu :
- Kekuatan / Strengths, adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan, keuangan, citra, kepimpinan pasar, hubungan antara pembeli dan pemasok.
- Kelemahan / Weakness, merupakan keterbatasan / kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja organisasi.Identifikasi faktor-faktor tersebut menentukan strategi yang akan digunakan perusahaan.

Strategi Agresive dipilih oleh organisasi yang mempunyai peluang dan mempunyai kekuatan untuk mencapainya. Strategi Turnaround dipakai organisasi yang mempunyai peluang yang tinggi tetapi mempunyai kelemahan internal dalam mencapainya. Strategi harus memperkecil kelemahan internal perusahaan dengan memanfaatkan peluang eksternal, misalnya joint venture dengan perusahaan yang memiliki kompetensi.

Diversification dilakukan perusahaan yang mempunyai kekuatan internal tapi menghadapi ancaman dari lingkungan eksternal. Perusahaan menggunakan strategi defensive karena mempunyai kelemahan internal dan menghadapi ancaman yang kuat.

Zero Base Dalam Interaksi Sosial

(Saduran)
Penulis:DSW

Dalam menyikapi sesuatu, kita cenderung berperilaku berdasarkan prasangka (persepsi) kita terhadap sesuatu itu. Padahal tidak selamanya prasangka itu memandu kita bersikap benar. Daripada terperangkap, mengapa tidak mengembangkan prinsip zero base dalam pergaulan?

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar dari prasangka. Karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” Namun dalam realita interaksi sosial, tak jarang kita mengembangkan prasangka pada seseorang. Adakalanya prasangka positif (baik sangka), tapi kebanyakan adalah prasangka negatif (buruk sangka) yang menyebabkan jatuhnya korban.

Sebagai contoh, seorang pegawai baru di sebuah perusahaan bisa merasa tidak nyaman dan kurang diterima karena beredar kabar –entah darimana- ia masuk lewat jalur belakang. Seorang penghuni baru di sebuah kompleks perumahan bisa merasa tidak betah karena sebelumnya berkembang kabar bahwa pemilik rumah adalah orang yang suka menipu dan memiliki hutang banyak. Atau seseorang diangap jutek dan menyebalkan karena kurang senyum atau kurang perhatian.

Prasangka yang tidak berdasar ini selain merugikan korbannya, tentu saja dapat membawa kerugian pada para penyangkanya. Secara moril, kita telah terlibat dalam persekongkolan membentuk sikap negatif yang membuat seseorang merasa tidak nyaman dalam berinteraksi. Secara materi, bisa saja kita menderita kerugian karena kehilangan kesempatan memperoleh manfaat dari berinteraksi dengannya. Sebab, seseorang yang pada dirinya telah muncul buruk sangka pada seseorang cenderung membangun benteng bukan jembatan komunikasi dengan orang diburuksangkainya itu. Padahal terentangnya jembatan komunikasilah yang memungkinkan sebuah interaksi sosial dapat saling memberi manfaat.

Melihat kerugian yang bakal muncul, sudah saatnya kita membangun budaya ‘persepsi nol’ dalam berinteraksi dengan orang lain. A. Riawan Amin, dalam bukunya The Celestial Management menyebutnya sebagai sikap zero base (mulai dari titik nol).

Makna zero base
Dalam buku yang menuturkan pengalamannya membangun budaya perusahaan, CEO Bank Muamalat Indonesia ini menuliskan prinsip zero base sebagai cara pandang atau sikap mental seseorang yang bersih, objektif, apa adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi menyangkut pekerjaan dan lingkungannya. Seseorang dengan sikap mental seperti ini akan memiliki kejernihan hati dan pikiran dalam menghadapi lawan interaksinya.

Menurut A. Riawan Amin, setidaknya ada empat pemaknaan sikap zero base. Pertama; tidak percaya diri, tidak rendah diri, tapi percaya Allah. Kedua; tidak terikat pada masa lalu, tidak terobsesi pada masa depan. Ketiga; tidak menambah, tidak mengurangi, tapi apa adanya. Keempat; tidak kufur saat miskin, tidak sombong saat kaya.

Dengan kata lain, Riawan ingin menjelaskan bahwa seseorang dengan sikap zero base memiliki ruang yang lebih luas dan terbuka terhadap segala persoalan yang dihadapinya. Dengan cara pandang zero base segala sesuatunya –tentu saja selama dalam koridor kemampuan manusia- menjadi mungkin. Lebih jauh, dia menukilkan konsep Zero mind dalam tuturan Frank LekanneDefrez & Rene Tissen, penulis buku Zero Space, sebagai berikut:

Saya berkeliling dan bertanya, “Apakah zero sebuah angka?” Seseorang menjawab: “Ya, zero adalah sebuah angka.”

“Bila zero adalah sebuah angka, sela saya, maka Anda dapat melakukan segalanya. Mari kita lihat perhitungan ini: 9 X 0 = 0, maka 9 = 0/0. Jika Anda katakan zero adalah sebuah angka, maka 0/0 = 1. Jadi, 9=0/0=1 dan 9 = 1.”

Kemudian ia menjawab, “Ah, zero bukan sebuah angka. Ini tidak mungkin. 0/0 = 1 adalah tidak mungkin.”

“OK, tidak mungkin tidak apa-apa. Lalu bagaimana dengan 9 x 0 = 0. Ini berarti 9 = 0/0 dan 10.000 x 0 = 0, maka 10.000 = 0/0. Maka 0/0 = 10.000 dan 0/0 = 9, jadi 9 = 10.000?”

“Cara pandang zero dapat melakukan segalanya. Jika Anda mengatakan zero adalah sebuah angka, tidak mengapa. Jika Anda berkata zero bukan sebuah angka, itu juga OK. Zero adalah segalanya dan segalanya adalah zero. Ini adalah matematika Zen. Karenanya, cara pandang zero menjadi sangat menarik. Jika Anda menjaga cara pandang zero, Anda akan dapat melakukan segalanya.”

Mengadopsi konsep di atas, maka seseorang dengan cara pandang zero akan bertindak, berpikir, membuat pilihan dan memberikan respon dengan mengembalikan segalanya pada akar, pada dasar permasalahan, tulis A. Riawan. Jika seseorang memulai sesuatu dengan menempatkan diri pada titik nol maka tanggapan panca inderanya menjadi jernih dan segala sesuatunya menjadi mungkin.

Implementasi Zero Base dalam insos
Cara pandang seperti ini akan memandu kita untuk berpikir terbuka dalam menghadapi segala sesuatu. Kita akan berpikir bahwa selalu ada jalan untuk setiap kesulitan, masalah atau problem yang dihadapi. Bukankah tidak ada istilah buntu untuk mereka yang meyakini inna ma’al u’usri yusroh? Sebab, persoalannya bukan pada kenapa sesuatu (takdir) itu terjadi, tapi bagaimana menghadapi takdir tersebut dengan lebih ‘nyeni’. Jadi, bukan soal seseorang memiliki kekurangan, tapi bagaimana mengubah atau meminimalisir kekurangan menjadi sesuatu yang membawa manfaat untuk diri dan lingkungan.

Dalam praktik insos (interaksi social), cara pandang zero base ini akan memberi beberapa benefit, diantaranya:

1.Memandang manusia sebagai individu yang dinamis
Manusia adalah makhluk dinamis yang bisa belajar dari kesalahan untuk kemudian memperbaiki kesalahan. Karena itu, dalam menilai seseorang, kita tidak boleh terjebak hanya pada jejak rekam masa lalunya. Setiap manusia boleh memiliki kesalahan masa lalu, tapi tidak boleh terjebak dalam kesalahannya. Prinsip ini membuat kita bisa memaafkan dan memaklumi kesalahan seseorang selama yang bersangkutan sungguh-sungguh memenuhi syarat bertaubat.

2. Terbebas dari prasangka
Memulai insos dengan prasangka akan membelenggu pikiran kita dengan sejumlah persepsi tentang seseorang yang belum tentu benar. Terlalu berprasangka baik –tanda data dan informasi akurat- dapat menjebak kita pada sifat lalai dan ghurur (terpedaya). Sebaliknya, prasangka buruk pun akan membelenggu kita dengan ketakutan dan kekhawatiran yang tidak berdasar.

3. Menilai apa adanya
Penilaian kita terhadap baik buruknya seseorang bukan didasarkan pada prasangka tapi berdasarkan apa yang kita lihat, kita ketahui dan kita alami saat berinteraksi. Apa adanya dan objektif. Dalam konsep Rasulullah, seseorang dikatakan saling mengenal dengan baik jika telah shalat berjama’ah, bermalam di rumahnya atau melakukan perjalanan bersama.

4. Berani mengambil sikap
Dengan cara pandang zero, kita tidak takut untuk mengambil sikap terhadap seseorang. Pembelaan atau penolakan, berpihak atau memusuhi bukan didasarkan pada apa kata orang kebanyakan, tapi berdasarkan cara pandang kita yang jernih dan bersih.
Jika benar, kita akan berdiri membelanya meski sejuta orang menghadang. Jika ia salah, kita pun tidak takut untuk menghadapinya meski sendirian. “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (Yunus:36)

5. Berpegang pada standar ilahiyah
Cara pandang zero pada dasarnya cara pandang dengan standar langit. Seseorang diukur dan dinilai bukan berdasarkan keturunannya, hartanya, kedudukannya atau jabatannya tapi berdasarkan kadar relasitasnya dengan Allah swt. Bukankah orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa?

6. Mengosongkan diri dari tujuan kotor

“Dan kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal…” (Al Hujurat:13). Tujuan berinteraksi adalah untuk saling mengenal, saling memahami, dan saling bekerjasama guna mencapai tujuan suci. Dengan capa pandang ini kita akan mengosongkan hati dan pikiran dari tujuan menyakiti, merusak, memanfaatkannya atau tujuan kotor lainnya. (DSW) - UMMIGROUP


--------------------------------------------------------------------------------

Modal Dengkul, Produk Membumi

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0407/30/utama/1178898.htm

TEKNOLOGI tidak harus lahir dari hasil riset ataupun laboratorium, tetapi bisa muncul dari pengalaman hidup sehari-hari. Sebutlah temuan sederhana, yang berawal dari rasa penasaran dan modal dengkul. "Sang penemu" pun tidak terakses oleh dunia luar sehingga penemuannya tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang mengangkatnya ke permukaan. Padahal, temuan itu ada di sana-sini.

Menurut Dr Ir Sudirman MSc, dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang juga Ketua Tim Kaji Kreativitas Teknologi Terapan NTB tahun 2003, dari pemantauan terlihat begitu banyak hasil penelitian tersimpan. Tahun 2003, misalnya, tercatat 64 hasil penelitian yang terhimpun. Dari situ, 19 penemu meraih penghargaan. Mereka dikategorikan penemu, perintis, dan pengembang serta diberi penghargaan berupa uang masing-masing Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.

Tahun ini lomba semacam itu tetap dilaksanakan, tetapi seleksinya lebih ketat dengan tekanan pada mutu penelitian dan peraihnya tiga-empat orang. "Naskah temuan dan hasil penelitian diharapkan masuk pada November mendatang," kata Yusron Hadi, Kepala Subbidang Perizinan dan Penyusunan Hak Paten Kantor Bappeda NTB.

Temuan-temuan itu dari berbagai disiplin ilmu, seperti fisika, biologi, dan rekayasa teknologi, misalnya produk telur cacing nyale untuk bahan uji biossay mutu air laut, produk ekstrak asam jawa sebagai obat kembung pada ternak ruminansia. Ada juga produk dodol berbahan baku buah terung, peralatan rumah tangga semacam piring, mangkok berbahan baku batu apung yang produknya mirip produk berbahan melamin. Selain itu, alat pengering cabai yang menggunakan lampu petromaks, alat peraga praktis mata pelajaran fisika bagi siswa sekolah lanjutan tingkat pertama, bahkan tanaman jarak varietas lokal beaq amor.

Produk teknologi tepat guna itu sudah ada yang go national, seperti emiter, alat irigasi tetes, untuk mendistribusikan kebutuhan air maksimal bagi tanaman keras (buah-buahan) yang bahan bakunya bintonit (lumpur). Teknologi tersebut merupakan hasil penemuan Hamzah, karyawan Kantor Bappeda NTB, semula petugas penyuluh lapangan Dinas Pertanian Kabupaten Bima.

Alat yang digunakan untuk tumbuh kembang tanaman di lahan kering itu sudah dimanfaatkan di Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Alor dan Sumba Timur), selain Pulau Lombok dan beberapa daerah di Nusantara ini. Harga jualnya relatif murah, kurang dari Rp 5.000 per emiter.

Lain lagi dengan H Saefuddin, warga Kompleks Perumahan Perumnas Tanjung Karang, Mataram. Dia membuat alat praktis sistem pembangkit listrik tenaga aki yang bisa mengubah arus AC menjadi DC atau sebaliknya. Jika listrik padam, arus listrik (AC) berlebih dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) disimpan di dalam aki yang kekuatan penyimpanannya sekitar tujuh jam, cukup sebagai alat penerangan selama pemadaman berjalan. Manakala aliran listrik menyala, arus daya listrik pada aki secara otomatis berbalik ke arus AC.

Sebanyak 50 karya Saefuddin kini dipakai warga Pulau Nasi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di sana alat charge-nya adalah genset yang diubah tegangannya menjadi 120 volt, dari 220 volt. Untuk itu, Saefuddin melakukan kontrak kerja dengan Menteri Riset dan Teknologi serta Menteri Sosial pada tahun 2002.

TEMUAN-temuan itu adalah karya lulusan universitas dan akademi, pengusaha dan pekerja yang senang menggeluti bidang penelitian, atau mereka yang karena dituntut oleh desakan hidup berupaya mencari solusi yang kemudian memberi sumber nafkah bagi mereka. Bisa dibilang karya mereka spesifik dan unik.

Hasan Muchtar (60), warga Kelurahan Penanae, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, membuat 11 sumur di atas bukit So Ndana Laju. Sepuluh sumur berkedalaman tiga sampai lima meter. Semua digali sendiri, berderet, dan mengikuti kemiringan lahan. Sementara satu sumur lainnya dibuat sedalam 20 meter.

Perbedaan kedalaman sumur, menurut logika Hasan, akan membuat air hujan yang ditampung diserap ke sumur yang lebih dalam. Air sumur pertama dan ke-10 untuk mengairi tanaman di ladang dan kebun, sedangkan sumur ke-11 (paling hilir) untuk kebutuhan air minum bagi warga selama tujuh bulan (musim kemarau). Agar air tertahan, bagian dasar dan dinding sumur dilengkapi ijuk, serabut kelapa, dan kerikil.

Di wilayah itu, karena ketebalan tanah sekitar dua sentimeter (cm), Hasan harus memahat batu cadas, melubanginya, dan memasukkan tanah ke lubang tersebut agar tanaman bisa tumbuh. Tumbuhan yang ditanamnya antara lain mangga dan pisang, dengan jarak per pohon sekitar 50 cm. Tanaman pisang dipilihnya karena punya kandungan air sekitar 50 persen dan sifat tanaman ini di musim kemarau mengeluarkan air yang berguna untuk mengairi mangga.

Kerja keras Hasan berlangsung selama tiga tahun, 1987- 1990. Hasilnya, lahan marjinal jadi produktif, 60 keluarga sekitarnya tidak lagi memburu air sejauh tiga kilometer dari lahan garapan, tetapi cukup mengambil dari sumur tadi.

Lain halnya dengan Zainuddin Ahmad (40), warga Dusun Lesu, Desa Raba, Kecamatan Wawo, Bima. Dia menemukan teknologi budidaya pohon jati dengan tunas akar. Teknologi itu dipraktikkan tahun 1999, dengan cara memotong tunas- tunas yang tumbuh pada batang bawah pohon jati eks tebangan.

Sekitar 25 hari kemudian tumbuh tunas baru yang kemudian diberi pupuk kompos. Hanya tunas terbaik yang dibiarkan tumbuh, sisanya dipotong atau dibuang. Teknik ini, sesuai dengan telaah Dinas Kehutanan Bima, membuat riam tanaman lebih cepat dibandingkan dengan sistem budidaya (menggunakan biji dan persemaian). Mutu kayunya pun sama dengan tanaman induk dan lingkar batang jati usia tiga-empat tahun seukuran genggaman dua tangan orang dewasa.

Menurut Dr Sudirman, secara teoretis tunas yang tetap tumbuh pada tanaman induk mendapat suplai makanan dan unsur hara dari tanaman induk. Hal itu karena tunas menyatu dengan tanaman induk. Mengambil tunas terbaik dan membuang yang kurang baik (teknik penjarangan) memudahkan tunas berfotosintesis, mendapat energi cahaya dari Matahari, memperoleh karbohidrat dan unsur lain yang merupakan perangsang pertumbuhan tunas secara vegetatif maupun generatif.

TEMUAN mereka boleh dikatakan "membumi". Sebutlah temuan Lalu Selamat Marta Dinata alias Memet (24) berupa alat pemanggil ikan (API). Alat untuk memancing ikan ini didesain sedemikian rupa, bisa mengeluarkan suara dan cahaya, yang membuat ikan mendekat. API dirakit dari komponen elektronik: transistor frekuensi rendah, transformer, piezo (penghasil/pengatur suara), kapasitor elektrolit dengan kertas filter resistor kapasitor, dan lampu lea super yang memproduksi suara. Perangkat itu dilengkapi baterai yang dimasukkan ke tabung plastik kaca kedap air, mirip wadah menyimpan bumbu merica.

API yang digantung pada jaring angkat lalu dicelupkan ke air laut sedalam 10 meter itu menghasilkan lengkingan suara berfrekuensi 10-15 kHz, daya bias lampu sejauh 20-50 meter di malam hari. Hasil uji coba menyebutkan, lobster, ikan layau, ikan kapas, kepiting, dan ikan kecil mendekat dan memburu suara dan sinar yang bersumber dari API.

Memet yang lulusan sekolah teknik menengah tahun 1999 membuat API mengacu pada binatang lain (anjing dan kelelawar) yang memakai frekuensi ultrasonik (di bawah 30 kHz).

"Anjing pelacak bisa dipanggil dengan frekuensi ultrasonik, mestinya ikan bisa dipanggil dengan cara yang sama," ujar Memet yang menaksir alat temuan itu bisa dijual Rp 200.000-Rp 250.000 per unit jika diproduksi massal.

Rasa penasaran-bahkan kesal bercampur peristiwa traumatis-mengilhami proses "pencarian" Sur’ain, warga Jalan Gotong Royong, Ampenan, Kota Mataram. Ketika sebagai tukang kayu pada tahun 1993, dia pernah jatuh dari tangga setinggi lima meter saat memasang lisplang penahan genteng sebuah rumah baru. Meski hanya luka, katanya, "Saya stres empat bulan lamanya, malah mau dirawat inap di rumah sakit jiwa." Ia kemudian menciptakan alat bantu pemasangan lisplang lebih praktis yang terbuat dari besi. Alat itu dia beri nama regm pas (bahasa Sasak regm berarti cengkeram).

Di lain waktu, ibunya sering memarahi ayahnya yang tidak becus memasang sumbu kompor minyak tanah. Dari sini Sur’ain mampu mencipta alat penarik sumbu kompor yang disebutnya jarum rorot (rorot berarti tarik). Mekanisme kerjanya, sumbu kompor yang dikaitkan dengan jarum (terbuat dari kawat baja) dimasukkan ke salah satu ujung selongsong sumbu. Jarum ditarik dan sumbu kompor keluar melalui ujung selongsong lainnya.

Jarum rorot tersebut laku keras, dijual di pasaran (kota-desa) seharga Rp 1.500-Rp 3.000 per buah.

Kiprah mereka semua itu sekaligus membuka mata berbagai kalangan bahwa aktivitas penelitian secara swadaya berjalan secara berkesinambungan, yang hasilnya tidak kalah dengan yang dibuat para peneliti dari kalangan perguruan tinggi. (KHAERUL ANWAR)

Possitive Attitude

Harvard and Stanford Universities have reported that 85% the reason a person gets a job and gets ahead in that job is due to attitude; and only 15% is because of technical or specific skills. Interesting, isn't it?

You spent how much money on your education? And you spent how much money on building your positive attitude? That hurts. Now here's an interesting thought. With the "right" attitude, you can and will develop the necessary skills. So where's your emphasis? Skill building? Attitude building?

Unfortunately, "Neither" is the real answer for many people. Perhaps if more people knew how simple it is to develop and maintain a positive attitude they would invest more time doing so. So here we go.

Five steps to staying positive in a negative world:

1.Understand that failure is an event, it is not a person. Yesterday ended last night; today is a brand new day, and it is yours. You were born to win, but to be a winner you must plan to win, prepare to win, and then you can expect to win.

2. Become a lifetime student. Learn just one new word every day and in five years you will be able to talk with just about anybody about anything. When your vocabulary improves, your I.Q. goes up 100% of the time, according to Georgetown Medical School.

3. Read something informational or inspirational every day. Reading for 20 minutes at just 240 words per minute will enable you to read 20 (200-page) books each year. That is 18 more than the average person reads! What anenormous competitive advantage . . . if you'll just read for 20 minutes a day.

4. The University of Southern California reveals that you can acquire the equivalent of two years of a college education in three years just by listening to motivational and educational cassettes on the way to your job and again on the way home. What could be easier?

5. Start the day and end the day with positive inputs in your mind. Inspirational messages cause the brain to flood with dopamine and norepinephrine, the energizing neurotransmitters; with endorphins, the endurance neurotransmitters; and with serotonin, the feel-good-about-yourself neurotransmitter. Begin and end the day by reading or doing something positive!

Tujuh Prinsip Entrepreneur Sukses

From MIFTA <- Jaja <- Milis sebelah...


Seorang entrepreneur (pengusaha) yang sukses wajib memiliki tujuh karakteristik. Tanpa ke tujuh prinsip itu, seseorang akan sulit menjadi seorang entrepreneur yang sukses. Apa saja ketujuh prinsip itu?

Ada tujuh profil kepribadian yang bisa membuat seseorang cocok disebut entrepreneur yang baik. Yang pertama adalah high achiever atau ambisius. Entrepreneur rata-rata memiliki kemauan yang keras dan keinginan untuk mencapai sesuatu yang tinggi. Biasanya entrepreneur mempunyai karakter high achiever tersebut. Jadi dia mempunyai semangat untuk mencapai sesuatu yang tinggi.

Kedua risk taker atau orang yang berani mengambil resiko dalam kehidupan ini. Semua entreprenur, baik besar atau kecil, adalah orang-orang yang masuk kategori risk taker. Mereka tidak hanya sekedar puas dengan hanya mendapat gaji di tanggal 30 saja, tetapi mau beresiko. Mungkin bisa gagal ataupun sukses.

Ketiga, opportunity analyzer atau orang yang selalu berhasil menganalisa setiap kesempatan yang ada. Ia mampu melihat apakah saat ini ada sesuatu yang menguntungkan jika dilaksanakan. Seorang yang constantly thinking about opportunity.

Keempat problem solver. Entrepreneur selalu bisa mencoba menyelesaikan masalah dan bukan sebaliknya, yakni mencari masalah. Jadi all entrepreneurs must be problem solver. Karena dalam bisnis akan selalu muncul satu, dua, tiga, empat hingga puluhan masalah. Anda harus mampu men-solve semua problem tersebut.

Kelima emotional attachment, yakni ikatan batin antara seorang entrepreneur sukses dengan apa yang dia lakukan.

Keenam self confidence. Hampir semua entrepreneur sukses yang saya kenal mempunyai sebuah kebanggaan dan kemampuan menganalisa bahwa mereka mampu. Hal itu adalah salah satu karakter yang umum yang dijumpai pada seorang entrepreneur sukses. Mereka biasanya mempunyai self confidence yang tinggi atau mempunyai percaya diri yang luas.

Ketujuh high energy level, yakni mempunyai semangat yang luar biasa. Dalam sebuah bisnis yang baru mulai, akan selalu ada kesulitan. Anda diharapkan untuk tidak tidur malam karena harus lembur. Besok paginya harus bangun pagi karena harus bekerja lagi. Sehingga bila Anda tidak mempunyai semangat dan energi yang tinggi, Anda tidak akan sukses.

Bila disimpulkan, ketujuh profil itu adalah high achiever, risk taker, opportunity analyzer, problem solver, emotional attachment, self confidence dan high energy level. Dengan memiliki tujuh profil itu, kami yakin seseorang bisa dipastikan akan menjadi entrepreneur yang sukses.

Kini Anda dapat Anda melakukan tes pada diri sendiri, apakah Anda cocok menjadi seorang entrepreneur atau tidak. Semoga artikel ini bisa memberi gambaran, apa yang harus Anda miliki kalau ingin menjadi entrepreneur.

The Best Tips from the Great Linux Desktop Migration

What's the best way to move an organization to a Linux

by Ed Stephenson
http://www.linuxdevcenter.com/pub/a/linux/2004/09/10/migrationtips.html

What's the best way to move an organization to a Linux desktop? That was the focus of the recent contest we held in conjunction with Novell, and participants offered lots of solid suggestions that we've presented below. There were prizes at stake, including a gift certificate for books from O'Reilly valued at $1,500. Yet, for many, the chance to share an open source experience and persuade some corporate fence sitters to wean themselves from Windows was incentive enough.


The Great Linux Desktop Migration Contest asked for entries in three categories: write an essay on the Benefits of Migrating to Linux; present an example of a Phased Migration Plan; and give us three Tips for Migrating.

"Without a doubt, users absolutely hate change," says David D. Scribner of Arlington, Texas, our winner in the Tips category. "But by showing factual examples of how their software budgets are steadily increased due to forced upgrades and ever-increasing licensing costs, and how their data is literally 'locked in' to that vendor due to proprietary formats, their eyes start to slowly open when they become aware of the 'open alternative'."

A tech industry professional who's been "living and breathing PCs" since 1984, David made his own switch to Linux in 1999. Now, as an independent consultant, he helps clients migrate to the OS at both the desktop and server level and maintains a web site (www.tuxist.org) dedicated to giving back to the GNU/Linux community. His winning migration tips, which claimed the $1,500 gift certificate, offer this detailed plan:

Linux Migration Tips Winner: David D. Scribner

Tip 1:

Before migrating any workstations over to GNU/Linux and the plethora of tools and utilities there, install cross-platform "basic applications" on the Windows workstations. These would include OpenOffice.org and Mozilla/FireFox at minimum and should be configured to replicate the users' setup for Microsoft Office and Internet Explorer (templates, configuration [paths, to name one], import Favorites, and so on). Also, configure areas of advantage (for example, OpenOffice.org defaulting to open/save Microsoft Word/Excel documents, Mozilla blocking pop-ups, loading tabs in the background, Mozilla Mail versus Outlook Express or Outlook).

For those who utilize more "advanced" OS features, applications, or tools, there is very likely an alternative in the Linux platform. If this alternative also has a Windows version, introduce users to this package, highlighting the advantages and allowing the user to adjust to the differences (if any).

This will let them get acquainted with the new applications, tools, and utilities while still using the OS they are comfortable with and allows you to highlight the advantages of the new applications, answer questions, and so on. You can assign this period of "adjustment" to any necessary length of time, but anywhere from six to twelve weeks is usually sufficient.

Tip 2:

Give employees training on the new applications, detailing how they can use them to accomplish the same tasks they achieved in the past. The training, which can be one-on-one or as a group, also gives you the opportunity to expound on why the "switch" is being made: to thwart "vendor lock-in." Detail some of the facts regarding upcoming Microsoft operating systems and applications that, in the future, will make it increasingly difficult to switch.

Tip 3:

After the training and adjustment period with the cross-platform applications, tools, and utilities on the Windows platform, begin the transition rollout with the new Linux OS, applications, and utilities, starting with your users who have become the most accustomed to the new applications and feel most at ease with the migration. They can become your biggest "cheering section" and can help out with the migration of other users down the road by answering users' questions.

Set up the Linux desktops to closely resemble users' current Windows desktops, and configure the applications, fonts, and anything else they were using on the previous operating system identically (or as closely as possible, if an identical setup can't be accomplished for some reason). The migration may entail utilizing Novell utilities to allow for the continued use of select Windows applications that do not have GNU/Linux versions released yet or that require connection to an Exchange server and so on--at least until these, too, can be migrated to Novell SuSE Enterprise Servers.

The migration transition period can be split into two or perhaps three groups, with the most "advanced" group being the first to migrate. Allow a "settling in" time after each group migrates to iron out any remaining questions or configurations, and be sure to help "cheerlead" the users on their accomplishments, reinforcing the enjoyed security, lower total cost of ownership, and the company's refusal to bend to vendor lock-in.

As one group is settling in comfortably, you can continue to migrate the remaining group or groups next in line. As mentioned earlier, you will usually find that your first group to migrate will become instrumental in helping migrate the remaining groups. Take advantage of these members in helping drive the migration to success. Oh, and don't forget--for those who finalize the transition, reward them with a little recognition by giving them a small stuffed Tux for their desk! It's cheap compared to the cost of staying with Windows and just may help strengthen the ambition of others in line for the migration.

What do you think? In the talkback section immediately following this article, let us know if you believe David's ideas will fly, or what you would do differently. We received several other good tips, as this sampling shows:


Gene Anglen

Tip 1:

Choose a desktop distribution that has as little impact as possible on users with regard to the interface and access to the software program or programs they use. Some type of incentive should be used, such as replacing their current hardware with newer versions. This will help most of their applications run more quickly and smoothly, leading them to think that Linux is accomplishing the speed difference.

Research the differences your users will encounter and have a ready-made solution. One example is transferring files to and from floppy drives. Despite the current manufacturer trend, floppy drives are used by end users more than any other type of media. Be sure something like Mtools is installed with a desktop link for the user. This accomplishes two user issues: a "simple" way to transfer files, and users having files in two separate locations if the floppy disk they are using goes bad. Teach them that they must save their files to the local home directory, then transfer them to floppy and vice versa.

Tip 2:

Do not attempt to migrate everyone at once. Start with yourself. Use the desktop distribution as your own workstation and look at it from an end user's point of view. Then choose a few users for whom you have the least amount of service calls. Place new hires on the Linux systems as soon as they start, in the areas you have your initial Linux desktops running so your "old hands" can assist the new employee. Initially, you must run your old Windows systems in parallel with your new Linux desktops.

Promote the stability and security of the Linux workstations by mentioning that you have to interrupt the Windows users to perform updates and reboots or check their Windows systems to be sure the antivirus software is working and has the current signatures installed, while your Linux workstations are able to keep right on going without interruption. True, you have to do similar tasks on the Linux workstations, but very seldom do you have to interrupt users to accomplish this. Linux users don't need this pointed out to them; just allow them the satisfaction of thinking their Windows counterparts are being held up for a few minutes.

Since this was a contest, we had to view these as competing tips. But, in the true spirit of open source, most of the suggestions here build on one another and could be used together. So, although every contestant submitted the requisite three tips, we've omitted repeat ideas and offer individual recommendations that stand out:

Matt Yarbrough

Tip 1:

Document. Put together a summary listing every application your users use, not every application they need. Instant messengers, weather bugs, and music players will affect acceptance probably more than office suites or email clients.

Tip 2:

Education. Make sure your users understand the reasons for migrating. An arbitrary declaration of "the new thing" will not endear them to the effort. Explain the benefits to them, not the benefits to the IT department.
Sujan Swearingen:

Get the latest Linux kernel that the OS can handle. It's usually more stable and gives your hardware more functionality. Sometimes a piece of hardware that acts "flaky" has been fixed in the latest kernel.
Zenaan Harkness

Plan to use GNOME or KDE for users who are coming from Windows, since those tools are closest to the experience and comfort that users have with Windows. If the users aren't "tweak freaks" (or your company prefers less fiddling) go with GNOME.

Of course, our book editors had their favorite tip:
Glenn Hollowell

Have two books accessible to every Linux user. These are Running Linux by Matt Welsh et al, and Linux in a Nutshell by Ellen Sievers. A copy of Unix Power Tools will also be a valuable resource for users as they advance.

Unfortunately, we didn't receive any eligible entries in the Benefits or Migration Plan categories, but we heard your feedback loud and clear that limiting the contest to entries from the U.S. was a real problem. We do realize that there's a lot of great work involving Linux migrations in Europe, Latin America, and elsewhere. So here's your chance: in the talkback section below, share your Linux migration stories and the benefits your company (or clients) realized from this experience. How and why are you migrating to Linux on the desktop?

Rekomendasi Pengembangan ICT Daerah

I will forward the recommendation.

(Maaf, ini dari pak Eka Ginting, saya sadur seperlunya)

Kalo mengenai sweeping yg dilakukan di daerah, logikanya alur complaintnya ya ke Pemda setempat kan? Mosok harus ke Presiden langsung. Dan enaknya dengan direct election, yang bisa kita-kita ganti dengan vote kita adalah Bupati/Walkot setempat - yang tahun depan semua akan dipilih langsung. So, protes lah di daerah masing-masing - threaten dengan your vote. Sekarang juga udah banyak calon-calon Bupati yang mulai kampanye, voice your thoughts and your opinion. The beauty of democracy kan di situ - your vote counts - if you make it so.

Globalnya masalah kemerdekaan Internet wireless dan telematika ini, in my personal opinion, ada liat three folds:
- Yang punya kuasa gak ngerti and/or gak yakin bahwa ini prioritas
- Yang berkecimpung (kita-kita ini) gak mampu and/or gak mau mencoba meyakinkan
- Environmentnya yang gak mendukung - mulai dari KKNnya sampai birokrasinya sampai segala macam mental/embedded problems

Menurut saya solusinya, at least yang kita di industri ini bisa lakukan, adalah mencari Minimum Set yg kita butuhkan, dengan prioritas yang clear, create a bang-up pitch about it, power it up (dengan orang, duit, effort), baru kita bisa dapatkan. Minimum Setnya ini juga gak usah muluk-muluk - kalo saya bilang, prioritas pertama adalah financingnya untuk industri kita ini gak ada. Gak mungkin akan ada Creative Tech Indonesia let alone Intel/Cisco/Microsoft - karena sumber pendanaan untuk model begini belum ada (angels/vc). Minimum Set ini harusnya seminim mungkin - saya pernah tanya ke Founder/CEOnya salah satu billion dollar IT companynya India, what makes India good in IT, jawabannya adalah "India excels in IT and beauty, because government plays no part in it". Mungkin di kita masih perlu govt intervention yg ditujukan untuk menciptakan kondisi yg se-'laissez faire' mungkin.

Impact Kemerdekaan Internet Wireless

Onno W. Purbo
Rakyat Indonesia Biasa

Pada saat tulisan ini ditulis, rakyat Indonesia khususnya rekan-rekan pengguna 2.4GHz & 5.8GHz sedang menderita karena sweeping yang dilakukan oleh aparat & BALMON POSTEL. Entah mengapa? Barangkali mereka berusaha untuk memperburuk muka pasangan Mega-Hasyim agar tidak dipilih dalam Pemilu Presiden tanggal 20 September 2004 oleh komunitas telematika Indonesia. Tampaknya strategi POSTEL untuk memperburuk kredibilitas pasangan Mega-Hasyim cukup berhasil!

Dalam kondisi terjepit, ternyata komunitas Internet Wireless mampu membangun mendekati 10.000 node yang mengkaitkan diri pada sekitar 1000+ Access Point, menurut Didin salah seorang tokoh IndoWLI komunitas Wireless Internet Indonesia. Tidak heran kalau saya menuntut secara serius pada rancangan Keputusan Menteri agar,

1.Bebaskan ISM & UNII (2.4 GHz, 5.2GHz dan 5.8GHz) band dari lisensi.
2.Pengguna ISM & UNII band tidak perlu lisensi maupun registrasi.
3.Semua peralatan yang digunakan tidak perlu di approve oleh POSTEL / Pemerintah, jika sudah di approve oleh FCC & ESTI yang merupakan regulator di negara maju.
4.Pengguna di batasi daya pancar pada EIRP 30-36 dBm agar tidak terjadi interferensi yang cukup besar.
5.Koordinasi untuk penggunaan frekuensi bersama (frequency sharing & reuse) maupun disain Wireless Metropolitan Area Network dilakukan secara lokal oleh komunitas.

Pertanyaan yang perlu di jawab di sini adalah "apakah negara, pemerintah, maupun rakyat akan di untungkan dengan memerdekakan Internet Wireless?". Sebagian besar rakyat pengguna Internet pasti akan diuntungkan dengan di merdekakannya Internet wireless. Sebetulnya tidak banyak rakyat yang di rugikan dengan pembebasan Internet wireless, hanya sekitar 2900 sambungan microwave yang sedang beroperasi dan ini dapat dengan mudah di kompensasi dengan keuntungan yang akan di peroleh pemerintah dengan pembebasan 2.4GHz.

Pertanyaan yang paling menggelitik adalah bagaimana dengan pemerintah? Apakah pemerintah dirugikan dengan pembebasan ISM band (2.4GHz) agar rakyat dapat memakainya tanpa ijin sama sekali, tanpa membayar biaya hak penggunaan frekuensi? Jawaban secara singkatnya ? pemerintah & negara justru akan di untungkan secara finansial (melalui pajak dll), melalui berkembang industri dalam negeri, melalui penambahan drastis pengguna Internet Indonesia dan meningkatnya orang pandai di Indonesia. Tidak percaya? Silahkan ambil file perhitungan lengkap "impact-ism-unii.xls" di bagian file dari mailing list indowli, asosiasi-warnet, indowliformatur, genetika, telematika, mastel-anggota di yahoogroups.com.

Memang pemerintah kemungkinan akan kehilangan sekitar Rp. 22 milyard / tahun dari Biaya Hak Pemakaian (BHP) frekuensi dari 2900 sambungan microwave yang ada. Padahal, pembebasan Internet Wireless akan meningkatkan pengguna yang bertumpu pada Internet Wireless tadinya hanya sekitar satu (1) juta orang, menjadi berpotensi mengcover 17,8 juta pengguna Internet di Indonesia sebuah jumlah pengguna mendekati negara Cina pada hari ini. Jika setiap pengguna mengeluarkan uang Rp. 10.000/bulan untuk akses Internet, konsekuensinya, pemerintah akan memperoleh kenaikan pendapatan dari Rp. 7 Milyard/tahun dari PPh Jasa, Rp. 1 Milyard/Tahun untuk BHP Jasa Telekomunikasi melonjak menjadi Rp. 128 Milyard/tahun dari PPh Jasa, dan Rp. 21 Milyard/Tahun BHP Jasa Telekomunikasi. Jelas jauh lebih menguntungkan dari pada Rp. 22 Milyard dari BHP Frekuensi sambungan microwave yang ada saat ini.

Tentunya yang harus dipikirkan adalah bagaimana strategi migrasi ke 2900 sambungan microwave penghuni lama 2.4GHz yang saat ini beroperasi. Dengan biaya migrasi peralatan yang dibutuhkan sekitar 24.000 dollar AS per sambungan, sehingga membutuhkan sekitar Rp. 626 Milyar untuk memigrasi keseluruhan 2900 sambungan yang ada. Hal ini dapat dengan mudah di kompensasi oleh negara, karena pembebasan frekuensi 2.4GHz, 5.2GHz dan 5.8GHz akan berpotensi memberikan masukan pajak kepada negara sekitar Rp. 600 Milyard dari PPN investasi peralatan Access Point, Client maupun komputer yang akan di instalasi; belum masukan PPh Jasa dan BHP Jasa Telekomunikasi yang mendekati Rp. 150 Milyard per tahun.

Konsekuensi yang tidak pernah terbayangkan adalah peningkatan luar biasa kebutuhan peralatan Access Point Wireless Internet yang mendekati 7000 unit, peralatan client sekitar 129.000 unit belum jumlah serapan peralatan komputer yang mendekati dua juta unit. Bagi dunia usaha hal ini jelas amat sangat menguntungkan. Adanya demand yang sedemikian tinggi jika dilakukan dengan kompetisi yang sangat ketat akan sangat menekan harga bagi pengguna akhir.

Dengan kondisi hari ini yang sangat represif, telah menumbuhkan beberapa industri kecil di Jakarta, Bandung, Jogya, Surabaya, Malang untuk memberikan servis Wireless Internet, memproduksi antenna sendiri, membangun tower maupun peralatan mekanik lainnya. Di samping sebuah manufaktur peralatan Wireless Internet smartbridges yang berlokasi di Batam. Dengan pembebasan band Wireless internet, adanya kebutuhkan 140.000 unit peralatan wireless Internet jelas sangat menjustify untuk tumbuhnya industri manufaktur pembuat card Wireless Internet. Bayangkan saat ini pembuat chip set card Wireless Internet rata-rata menjual chipset yang jumlahnya dua buah chip seharga tiga (3) dollar AS dengan minimum order sekitar 10.000 unit. Akan memungkinkan tumbuhnya industri manufaktur dengan putaran uangn sebesar 4.5 juta dollar AS, padahal modal dasar chipset dan board hanya sekitar 660 ribu dollar AS. Keuntungan yang di peroleh jelas sangat menggiurkan bagi siapapun untuk membangun industri manufaktur di tanah air; berani bertaruh Departemen Perindustrian dan Perdagangan akan sangat gembira melihat hal seperti ini.

Bagaimana dengan pemerintah daerah? Daerah pun akan sangat di untungkan, konsensus yang ada di International Telecommunication Union (ITU) sepakat bahwa kenaikan 1% dari infrastruktur telekomunikasi akan menaikan pendapatan sebanyak 3%. Pembebasan Wireless Internet, akan memungkinkan menaikan menaikan akses Internet sebanyak 35 kali lipat!! Hal ini akan menaikan pendapatan asli daerah mendekati 100 kali lipat! Tentunya tidak sesederhana itu, tingkat pendidikan manusia, budaya maupun perbaikan mekanisme birokrasi yang ada harus berubah untuk melihat tingkat kenaikan yang demikian fantastis. Paling tidak perkembangan infrastruktur yang ada akan memungkinkan proses perubahan untuk mulai terjadi.

Melihat demikian besar keuntungan yang akan di peroleh dengan pembebasan Wireless Internet bagi masyarakat; dengan hanya sedikit pengorbanan di awalnya pada sisi pemerintah. Apalagi dengan demikian besar dukungan dari berbagai komunitas masyarakat apakah itu dari rekan-rekan Internet Service Provider (ISP), Warung Internet (WARNET), IndoWLI, maupun masyarakat telematika untuk membebaskan Wireless Internet. Belum lagi kebijakan International Telecommunication Union (ITU) maupun PBB yang menyarankan untuk membebaskan band ISM dan UNII untuk keperluan pembangunan Internet di negara berkembang. Agak aneh bin ajaib jika pemerintah tidak mau membebaskan band ISM dan UNII.